US$ 1 = Rp 1

Jika nilai US$ 1 = Rp 1,-...kira-kira apa aja yang terjadi di Indonesia? *dengan asumsi kurs negara tetangga lainnya tetap*

1. Masyarakat bisa gonta ganti mobil semaunya..Beli Honda city dengan Rp.30.000,- dan Toyota Landcruiser Rp 70.000,-, BMW/Mercedes Benz gak nyampe Rp 1 juta, de el el..
 

2. Bakal ada transfer pemain sepak bola besar-besaran di Indonesia. Bukan tidak mungkin Persija Jakarta akan membeli David Beckham dan Ronaldinho. Sementara PSBL Bandar Lampung akan mengontrak Zenedine Zidane dan Ronaldo, Nah lho...Alexandro Delpiero dan Paolo Maldini *pemain kesayangan gw* juga bisa di kontrak buat main di Indonesia, Kebayang gak sih..Pemain-pemain lokal akan bertanding dengan pemain-pemain kelas dunia?
 

3. Pemerintah gak perlu lagi ngutang ke IMF, justru malah Indonesia bantu-bantu negara miskin lainnya..Indonesia memang Hwebatt....!!
 

4. Pengamen, Pengemis, dan tukang parkir bisa langsung meluncur ke luar negri sehabis kerja seharian. Bahkan mereka bisa check-in di hotel-hotel mewah dengan fasilitas kamar presidental room yang harga semalamnya diatas Rp 1,5 juta..
 

5. Kriminalitas menjadi lebih elit, gak bakal ada lagi copet dengan dua jari, apalagi kapak merah...Gengsi dunks!! Lihat aja di Amrik sono, gak ada penjahat bawa kapak kan?
 

6. Gak ada lagi pasar loak. Masyarakat jadi malu beli barang-brang bekas...
 

7. Kebijakan pengadaan rumah sangat3x Sederhana diganti menjadi Real Estate Sangat3x Sederhana..
 

8. Fasilitas sehari-hari menggunakan jasa komputer+smart card, jadi gak perlu lagi antri tiket di loket stasiun, pekerja-pekerja kantoran yang biasanya kerja sambil ngobrol. dan gak memberi kepuasan pada customers...jadi lebih punya banyak waktu untuk ngobrol panjang lebar dengan temen-temen..., de-el-el
 

9. Masyarakat kita gak perlu lagi pusing masalah issue formalin, daripada ketakutan beli mie ayam, tahu, dan ikan asin...mendingan mampir aja ke restoran dan pesen pizza, burger, dan makanan lainnya sepuasnya..
 

Reaktif itu Harus AKTIF, Jangan Pasif!


Membaca dan menyimak berita yang ada di media, membuat gw menilai, kalau Indonesia merupakan negeri yang tak pernah lepas dari berita negatif. Setiap hari, setiap saat, pasti ada berita kayak itu.
Dari mulai orang biasa, hingga artis papan atas. Dari mulai pejabat daerah, anggota DPR. Dari maling ayam, hingga penyelendupan kayu. Dari pesta minuman keras di kampung-kampung hingga pesta narkoba para artis. Dari maling dibawah 1 juta, hingga korupsi para pejabat hingga milyaran rupiah. Dan lain-lain, dan lain-lain. Semua itu selalu muncul di media……
S E T I A P H A R I.
Di ranah hukum, yang ternyata hukuman untuk Ariel Peterpan, (yang notabene hanya menjadi korban dari kasus penyebaran video pornonya dengan beberapa artis) jika diamati dengan jeli, hukumannya jauh lebih ringan dari hukuman seorang Gayus Tambunan, yang menjadi mafia perpajakan senilai puluhan milyar. Atau kasus yang menimpa Nenek Minah (55 tahun), yang nggak pernah nyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Bahkan untuk perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.
Beralih ke bagian olahraga. Kehebatan Timnas Indonesia dan slogan “Garuda Di Dadaku” seolah langsung menghilang ditelan bumi beserta lapisannya yang terdalam, gara-gara isu korupsi di dalamnya. Ketua Umum Nurdin Halid masih aja betah duduk disinggasananya, padahal hampir semua masyarakat menyuruhnya untuk berhenti dan mengganti posisi ketua umum itu dengan orang yang baru, yang lebih ‘bersih’ dan lebih mendukung persepakbolaan nasional pastinya.
Hal yang paling nyata timbul dari konflik PSSI ini adalah, adanya Liga Primer Indonesia, atau LPI. Banyak klub-klub yang berpindah ke LPI dengan alasan ketidak puasan terhadap liga yang dibuat oleh PSSI, atau Liga Super Indonesia (LSI). Buntut dari kejadian tersebut yaitu, menghilangnya nama-nama seperti Irfan Bachdim dan Kim Kurniawan dari skuad timnas besutan Alfred Riedl, yang akan dibawa ke SEA Games dan Pra Olimpiade. Karena, klub yang dibela oleh kedua pemain tersebut (Persema Malang), lebih memilih pindah ke LPI daripada tetap bermain di liga naungan PSSI.
Setelah liga pecah menjadi dua, beberapa waktu terakhir ini, beredar kabar kalau hasil pertandingan final Piala AFF antara Malaysia vs Indonesia sudah diatur termasuk di dalamnya ada praktek suap. Isu itu berawal dari sebuah surat elektronik, dari seseorang yang mengaku pegawai Ditjen Pajak Kementrian Keuangan, yang isinya menyebut kalau timnas Indonesia memang diatur untuk kalah dari Malaysia di final pertama. Di dalam surat yang ditujukan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan ditembuskan ke sejumlah media, menyebutkan bahwa pengurus PSSI mendapat uang miliaran rupiah dari hasil ‘pengaturan’ itu. Itulah yang akan menjadi modal untuk melanggengkan kekuasaan Nurdin Halid di PSSI. Namun, Sekjen PSSI Nugraha Besoes menampik keras informasi yang beredar luas ini. Menurutnya, merupakan hal yang gila jika PSSI mengorbankan harga diri bangsa demi segelintir uang.
Belum lagi masalah sosial, kelaparan, pemerkosaan, mutilasi, pengangguran, anak jalanan, putus sekolah, kemiskinan, dan lain-lain. Ya! Itulah berita-berita yang pasti muncul di media setiap harinya.
Kasus yang paling terakhir, - sebelum saya membuat tulisan ini – adalah kasus  tentang kemajemukkan umat beragama. Yaitu kasus penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten (6/2/2010). Sebanyak enam orang dikabarkan tewas akibat penyerangan oleh ribuan warga Cikeusik tersebut. Namun menurut Kepala Kepolisian Resor Pandeglang AKBP Alex Fauzy Rasyad, korban yang tewas sebanyak tiga orang bukan enam orang. Ditambah beberapa orang/jamaah yang mengalami luka-luka.
Gw emang kurang ngerti tentang keberadaan Jamaah Ahmadiyah, mereka salah atau tidak, mereka mengganggu atau tidak, yang saya mengerti hanya satu, hal tersebut sudah masuk tindak kriminal, yaituPEMBUNUHAN, menghilangkan kesempatan orang lain untuk tinggal lebih lama di bumi. Dan gw sangat percaya, tidak ada satupun agama yang mengajarkan perbuatan yang sangat keji tersebut.
Akibat berita-berita tersebut, membuat gw bertanya-tanya….. Apakah kita udah benar-benar merdeka?
Apakah kita udah benar-benar merdeka? Jika setiap kita berhenti di lampu merah, didatangi oleh ibu-ibu yang menggendong anaknya sambil meminta-minta uang.
Apakah kita udah benar-benar merdeka? Jika kita selalu kesulitan mengurus hal-hal yang berbau birokrasi. Membuat paspor bisa berminggu-minggu jika tidak memakai ‘pelicin’. Membuat SIM bisa berhari-hari, jika tidak kenal ‘orang dalam’. Mengurus pajak bahkan bisa berbulan-bulan.
Apakah kita udah benar-benar merdeka? Jika kita yang hidup di ibukota, selalu dibuat emosi oleh kemacetan. Jarak satu kilometer ditempuh dalam waktu 1 jam! Masuk kantor pukul 9 pagi, berangkat dari rumah pukul 5.30, pulang kantor pukul 5 sore, sampai rumah jam 9 lewat.
Gw nggak butuh jawaban tentang pertanyaan, “Apakah kita sudah benar-benar merdeka?”, tetapi alangkah baiknya jika kita renungkan, dan kita cari solusinya.
Semua orang bisa berteriak, “I Love Indonesia!!”, “Indonesia tanah tumpah darahku”, “Untukmu Indonesiaku”, “Di hatiku hanya ada satu, Indonesia”. Semua orang juga bisa mengkritik. Mengkritk menteri, mengkritik para wakil rakyat, mengkritik kebijakan pemerintah, apa saja. Apalagi saat ini, komunikasi kita seolah menjadi tanpa batas, dengan hadirnya berbagai macam social media. Seolah-olah kita bisa ‘berteriak’ apa saja di social media.
Seperti ketika kejadian penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik. Twitter kebanjiran ‘amarah’ dan ‘kutukan’ dari para pengguna akun sosial media berlambang burung biru tersebut. Timeline menyerbu secara sporadis para pelaku penyerangan tersebut. Dari designer, broadcaster, staff finansial, manajer perusahaan, blogger, web developer, ibu rumah tangga, pokoknya semuanya deh.
Tapi, apakah itu yang dibutuhkan oleh negara ini?
Presidennya berkata “Saya turut prihatin”, rakyatnya lalu mengutuk, sebuah kombinasi yang  itu-itu saja, dan pasti terjadi jika ada sesuatu yang ‘negatif tingkat tinggi’ di Indonesia. Hanya sekedar teriakan-teriakan super lantang. Seperti memindahkan tempat demonstrasi di jalanan ke dunia maya. Setelah itu? Lenyap seperti debu yang tertiup angin. Hari kedua, hari ketiga, dan berikutnya kehidupan di Twitter kembali normal dan seolah kejadian penyerangan di Cikeusik nggak pernah terjadi. Padahal, proses hukum masih harus berjalan, dan diawasi oleh kita semua.
Saatnya kita BERBUAT, untuk negeri ini. Bukan hanya berteriak-berteriak tanpa ada aksi yang berkelanjutan. Berbuatlah hal yang kongkrit dan sederhana. Hal-hal kongkrit yang ada di sekitar kita.
Buang sampah pada tempatnya, membuat penghijauan, menghemat listrik, membuat daur ulang, gotong royong membersihkan selokan, membuat penghijauan, jauhi narkoba, saling menghormati dan menjaga perdamaian sesama umat beragama, mengawasi aparat hukum dalam menjalankan tugasnya, menjaga persatuan dilingkungan pertemanan, dan masih banyak hal-hal kecil namun kongkrit yang bisa kita lakukan untuk negeri ini.
Karena hal yang besar itu terjadi karena adanya hal-hal yang kecil.
Dan untuk kalian semua yang sudah melakukan hal-hal tersebut, kalian pantas disebut sebagai penerus para pahlawan yang nyata!


<tempat sampahnya arga>

Lokalisasi “Pasar Kembang” Bagai Dua Sisi Mata Uang


Ada kalimat yang menarik ketika saya membaca sebuah artikel di internet “kalau pergi berwisata ke Yogyakarta rasanya belum lengkap tanpa mengunjungi "pasar kembang” kalau belum ke pasar kembang berarti sama saja belum ke Yogyakarta. Bahkan di masyarakat sendiri ada wacana untuk menjadikan kawasan pasar kembang sebagai bagian dari paket wisata Yogyakarta. Pasar kembang merupakan daerah tempat lokalisasi terbesar di daerah Yogyakarta yang letaknya berada di pusat kota Yogyakarta tepatnya di belakang jalan malioboro.
Lokalisasi adalah istilah yang berkonotasi sebagai tempat penampungan wanita penghibur dan wanita tuna susila atau pelacur (Wikipedia). Arti pelacur sendiri adalah penyerahan diri seorang wanita kepada banyak pria tanpa pilih-pilih untuk memuaskan nafsu yang bersangkutan, yang mana untuk perbuatan tersebut si pria memberikan imbalan . Tetapi seiring waktu berjalan yang melakukan profesi ini bukan hanya wanita, pria pun banyak yang menggeluti profesi ini yang disebut dgn gigolo (dalam blog soedjono D.SH,1977)
Sejarah timbulnya lokalisasi pasar kembang (sarkem) diawali pada tahu 1884 karena untuk melayani para pekerja pembangunan stasiun dan pekerja bangunan yang membangun tempat-tempat penginapan dan fasilitas lainnya (Endang, dkk, 1997;7). Jumlah terakhir yang tercatat pada perkumpulan keluarga berencana Indonesia (PKBI) Griya Lentera Yogyakarta pada akhir tahun 2005 kurang lebih berjumlah 300 PSK (www.kompas.com)
Salah satu alasan hadirnya pasar kembang sebagai tempat lokalisasi adalah untuk mengatur penataan kota agar tidak mendapat citra negatif dari masyarakat luar daerah Yogyakarta, karena di Yogyakarta para pekerja seks komersial jumlahnya cukup banyak sehingga mampu mengganggu kenyamanan kota jika di biarkan maka akan merusak kenyamanan kota jogja sendiri, karena alasan keamanan itu pemerintah Jogjakarta memberikan solusi untuk menempatkan tempat prostitusi itu di satu tempat yakni di Jl. Pasar Kembang tepatnya di jln pasar kembang gg. Sosrowijawan selatannya stasiun tugu.
Suasana keadaan di pasar kembang di siang hari sebenarnya tidak jauh berbeda dengan lokasi perumahan masyarakat atau kampung pada umumnya, ada anak-anak kecil yang sedang bermain, ibu rumah tangga yang sedang mencuci piring maupun mencuci pakaian, ada sekelompok orangtua yang berkumpul sekedar mengobrol ataupun main catur karena letak lokasi dari pasar kembang sebenarnya berada di tengah-tengah masyarakat pada umumnya.
Namun di balik itu semua hadirnya lokalisasi tentunya menghasilkan dampak negative terhadap lingkungan yang dijadikan sebagai tempat lokalisasi khususnya kepada keluarga yang sudah memiliki anak-anak. Permasalahan yang timbul di lingkungan lokalisasi salah satunya adalah adanya pengaruh terhadap perkembangan psikologis anak. Mereka juga dihadapkan pada stigma masyarakat tentang lokalisasi itu sendiri. Terutama bagi anak-anak yang memasuki umur 7-12 tahun. Karena pada umur-umur tersebut tingkat kemampuan anak dalam meniru sangatlah tinggi. Begitu juga dengan tingkat keterpengaruhan terhadap lingkungan di sekitarnya. Mereka akan terpengaruh dengan apa yang mereka lihat.
Itulah hal yang sering dikuatirkan oleh kebanyakan masyarakat kampung Sosrowijayan akan keberadaan Pekerja Seks Komersial dan para pengunjungnya adalah dampak negatif yang akan mempengaruhi perilaku pada setiap keluarga yang ada di kampung sosrowijayan, terutama terhadap anak-anak kecil yang belum cukup umur. Walaupun kegiatan yang dilakukan oleh para Pekerja Seks Komesial tersebut dilakukan pada malam, tetapi tingkah laku dan kebiasaan yang sering dipraktekkan setiap hari, seperti tatacara berpakaian, dan tutur kata yang sering diucapkannya, memang sangat mempengaruhi kondisi kepribadian anak-anak yang tinggal di kampung Sosrowijayan. Hal semacam itulah yang ditakuti oleh orang tua yang mempunyai anak dikampung Sosrowijayan, mereka takut kalau anaknya suatu saat akan meniru profesi yang kebanyakan dilakukan oleh Pekerja Seks Komersial yang tinggal di kampungnya. Masyarakat pun sebenarnya juga binggung dengan keadaan seperti ini.
Namun disisi lain kegiatan prostitusi ataupun adanya lokalisasi justru menguntungkan masyarakat yang tinggal disekitarnya dari segi ekonomi karena dengan banyaknya masyarakat yang datang ke sana membuka peluang masyarakat untuk membuka usaha misalnya dengan membuka warung, seperti menyewakan kamar, menjual makanan, minuman, rokok dan lain-lain. Itulah realita di masyarakat kita, pasti ada ada positif dan negatifnya dari suatu fenomena bagaikan dua sisi mata uang yang berlawanan, tidak bisa kita lihat dari satu sisi saja harus bisa di lihat dari berbagai sudut pandang.

“SIAPA SURUH JADI AKTIVIS?”
oleh : frans hadi wijayanto
    
Jangan mengambil kesimpulan sebelum membaca tulisan ini sampai titik terakhir. Saya teringat beberapa tahun yang lalu ketika masih kuliah dan seorang kawan berkata kepada saya, “Ngapain aktif di kemahasiswaan, mending ingat itu lulus!!”. Saya hanya kaget dan terdiam waktu itu, tetapi saya juga paham latar belakang kawan yang mengatakan tadi. Tidak ada untungnya juga berdebat dengan dia. Toh pemikiran kita berdeda dan organisasi itu juga mengajarkan perbedaan…
Setiap universitas pasti mempunyai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) maupun Organisasi Kemahasiswaan (OK) yang menampung segala aspirasi dan bakat para mahasiswanya. Kegiatan kemahasiswaanya bisa meliputi kegiatan penalaran dan kelimuan, minat dan kegemaran, kesejahteraan mahasiswa, ataupun bakti sosial mahasiswa. Setiap mahasiwa berhak memilih salah satu atau lebih UKM atau OK sesuai minat dan keinginannya tanpa adanya suatu paksaaan. Ada juga mahasiswa yang tak mengikuti sama sekali UKM atau OK tapi itu tidak menjadi suatu masalah yang besar. Di kampus, kita termasuk golongan yang mana? Aktivis mahasiswa? Atau hanya sekedar berkunjung saja untuk mengikuti kegitan pembelajaran di kelas? Baik mahasiswa aktivis atau bukan nampaknya tidak ada perbedaan dalam penilaian dosen terhadap mahasiswanya. Pertanyaan yg muncul adalah “Penting gak sih jadi aktivis mahasiswa?
Kalau kita lihat dan bandingkan di universitas kita yang terdiri dari 3 struktural Organisasi Kemahasiswaan yaitu BEM Universitas, BEM Fakultas, dan HMJ disetiap jurusannya serta sejumlah UKM yang lebih berpedoman kepada minat dan bakat mahasiswa, maka ini bisa menjadi tolak ukur yang cukup akurat untuk melihat betapa hidupnya kegiatan mahasiswa di UPN “Veteran”Yogyakarta yang menganut prinsip “Disiplin, Kreatifitas, dan Kejuangan”. Dengan banyak dan beragamnya kegiatan yang dapat diikuti oleh mahasiswa, maka ini dapat dijadikan alat bagi kita untuk melatih diri dalam berorganisasi, melatih mental, menciptakan pemikiran yang kritis,  belajar berbeda pendapat, dan mampu mengeluarkan ide dan saran sebagai penengah permasalahan yang nantinya dapat menghasilkan mahasiswa yang tidak hanya memiliki hard skiil tapi juga memiliki soft skiil yang bagus. Organisasi mahasiswa dibentuk bukan tanpa alasan, organisasi mahasiswa didirikan dalam rangka mengembangkan potensi diri kearah perluasan wawasan, peningkatan cendikiawan dan pengembangan potensi mahasiswa yang mempunyai bakat atau potensi tependam. Hal ini bisa dianggap sebagai pemanasan sebelum mereka terjun langsung ke dunia kerja yang nantinya juga menuntut mereka untuk masuk dalam sebuah organisasi.
Saya teringat kata-kata salah satu pembicara dalam sebuah seminar nasional yang saya ikuti yang mengatakan “Saya sering katakan kepada aktvis kampus. Kalau masih mau banyak bersenang-senang, masih mau tidur 8 jam sehari, masih pingin punya waktu bermain yang lama, jangan jadi aktivis. Pilihan menjadi aktivis harus didasari dengan kesadaran semua konsekuensinya. Kalau ada mahasiswa tidak pernah kuliah dengan alasan menjadi aktivis, mungkin mahasiswa ini belum siap jadi aktivis. Kalau ada aktivis mengeluhkan kurang tidur karena banyak kerjaan, nampaknya si mahasiswa ini belum sadar akan pilihannya. Kalau ada mahasiswa aktivis penganut paham hedonisme, sangat mungkin dia ikut-ikutan aktif, atau malah menjadi aktivis hedonisme alias hedonis. Dari sini kita dapat mengambil pemahaman baru tentang pengertian apa itu seorang aktivis kampus. Ini tentunya menjadi acuan baru bagi teman-teman yang mempunyai paradigma lama yang hanya lebih menekankan kegiatan kampus dan mengacuhkan kegiatan perkuliahan.
Namun satu hal yang sangat perlu diperhatikan dalam tulisan ini bahwa pandangan kita terhadap seorang aktivis itu adalah orang yang berkecimpung ke dalam suatu organisasi kemahasiswaan yang anti birokrasi dan selalu menyampaikan pendapatnya dengan turun kejalan tidaklah sama. Dalam tulisan ini saya mempersempit kajian “aktivis” ke dalam bentuk yang lebih sederhanya dan lingkupnya hanya disekitar kampus kita tercinta yaitu UPN ”Veteran” Yogyakarta. Menurut pandangan saya aktivis mahasiswa bukanlah hanya seorang yang mengikuti organisasi kemahasiswaan dikampus tetapi juga seorang mahasiswa yang mau dan mampu mengikuti ajang perlombaan baik itu berupa minat dan bakat maupun ilmiah yang terkait dengan perkuliahan walaupun dia tidak mengikuti organisasi kemahasiswaan. Hal ini didasarkan oleh prinsip yang sama yaitu sama-sama berjuang dan aktif terhadap apa yang ditekuni dan diminati. Perbedaannya hanya kalau aktivis yang berorganisasi kemahasiswaan lebih menekankan hasil pemikirannya melalui lisan dan tatap muka terhadap birokrasi, namun aktivis yang mengikuti perlombaan lebih menekankan hasil pemikirannya melalui tulisan. Yang sangat diharapkan adalah apabila aktivis organisasi kemahasiswaan yang memiliki pola pikir yang kritis terhadap suatu masalah juga mampu mengikuti suatu perlombaan baik berupa ilmiah maupun minat dan bakat. Hal ini tentunya juga sangat diharapkan oleh pihak birokrasi karena mampu membawa nama harum kampus kita keluar sehingga dapat memperlihatkan bahwa mahasiswa kita tidak hanya kritis numun juga intelektual.
Kita jangan terlalu mengurusi masalah persentase kehadiran di kelas. Tuntutan 75% kehadiran bukanlah untuk membunuh para aktivis kampus yang sering dikenal jarang masuk kelas untuk mengikuti kegiatan lainnya diluar pembelajaran, namun lebih untuk menekankan tingkat kedisiplinan. Bukannya kalau kita ada kegiatan lain bisa ijin untuk tidak masuk kuliah. Kuliah jangan mengganggu aktivitas, dan aktivitas jangan sampai mengganggu kuliah. Mbolos kuliah satu-dua-tiga kali karena alasan yang tepat adalah sebuah kewajaran. Tetapi kalau dosen mengajar 14 kali dan sang aktivis hanya hadir sekali atau dua kali di kelas dan menuntut mendapatkan perlakuan yang sama dengan yang rajin hadir, jangan-jangan mahasiswa ini tidak siap menjadi aktivis.
Antara IPK tinggi dan Organisasi Mahasiswa, keduanya sama - sama berguna bagi tiap mahasiswa karena keduanya mempunyai tujuan yang positif bagi mahasiswa . IPK tinggi dan orgasnisasi saling berhubungan erat dalam menempuh kesuksesan seorang mahasiswa. IPK tinggi sangat berguna jika mahasiswa ingin melamar pekerjaan sesuai bidangnya, kemungkinan besar mereka akan diterima disetiap pekerjaan yang diminati. Organisasi kemahasiswaaan juga sama pentingnya dengan IPK tinggi . Dilihat dari
fungsinya bahwa organisasi ini merupakan bentuk manifestasi penyiapa
n diri mahasiswa untuk menjadi agent of change setelah menyelesaikan studi hingga kembali ke masyarakat. Dengan berorganisasi kita akan mendapat berbagai pengalaman, pengetahuan serta channels untuk kedepannya nanti setelah lulus.
Kalau perlu, jika Anda mahasiswa aktivis dan ada kegiatan yang menurut Anda sangat penting dan mengharuskan Anda mengikutinya padahal bersamaan dengan ujian, ikuti kegiatan tersebut dan tinggalkan ujian. Anda bisa ikut kuliah yang sama semester depan. Ini adalah pilihan yang sangat rasional. Jangan sesali pilihan ini. Anda akan bangga menjadi orang yang sadar dengan pentingnya keadilan dalam bersikap. Kalau tidak, jangan-jangan Anda belum siap menanggung konsekuensi sebuah pilihan hidup. Inilah repotnya menjadi aktivis, dan di sinilah sekaligus nikmatnya.
                Janganlah takut terhadap momok yang sering mendampingi aktivis mahasiswa yaitu mahasiswa yang lama lulusnya. Apabila konsekuensi yang kita ambil dan kita yakini dijalankan dengan baik, mungkin saja kita bisa jadi mahasiswa yang lulus lebih awal dibandingkan dengan mahasiswa biasa. Namun apabila seorang aktivis lulus melebihi waktu yang seharusnya, itu juga harus menjadi pacuan untuk kita semangat untuk menyelasikan perkuliahan. Kita dapat berbicara bahwa aktivis itu penting berdasarkan fakta kelulusan. Tentu para aktivis sudah tidak asing lagi yang namanya Karya Cendekia. Dari hasil penerima karya cendikia tentunya adalah mayoritas para aktivis kampus. Ini tentunya suatu apresiasi kampus bagi para aktivis. Hal yang sering terlupakan oleh mahasiswa adalah terlalu berprinsip terhadap kelulusan sehingga terlalu hanya mengejar ijazah saja, namun kurang memperhatikan apa yang didapat didalam perkuliahan dan kampus. Justru peluang pekerjaan itu mencari orang dengan kemampuan bukan hanya ijazah semata.  Tapi ingatlah, kelulusan itu ada dua: lulus dengan tepat waktu atau lulus dengan waktu yang tepat. Tergantung kita menyikapi hal tersebut.